Rabu, 20 April 2011

merpatipos.com

merpatipos.com


Mahkota Pangeran Tresna

Posted: 19 Apr 2011 11:52 PM PDT

Di sebuah desa, hiduplah seorang gadis miskin bernama Jelita. Sejak kecil ia diasuh kakeknya yang buta. Kedua orang tuanya sudah lama meninggal. Setiap hari Jelita merawat kebun sayurnya yang terletak di tepi sungai jernih.
Suatu hari, selesai bekerja di kebun, Jelita pergi ke sungai mencuci pakaian. Tiba-tiba ia melihat sebuah kotak terbuat dari emas. Kotak itu tersangkut di antara ranting pohon yang tumbuh di tepi sungai.
"Wah, betapa beruntungnya aku!" seru Jelita riang. Ia bermaksud menjual kotak emas itu. Uangnya ingin ia pergunakannya untuk menyembuhkan mata kakeknya yang buta. Jelita bergegas pulang. Ia hendak memberitahu kabar gembira itu kepada kakeknya. Namun, tiba-tiba saja pikirannya berubah.
"Astaga! Aku tidak boleh seenaknya menjual kotak emas ini. Aku harus mengembalikannya kepada si pemiliknya. Mungkin benda di dalam kotak ini sangat berarti bagi pemiliknya. Tetapi siapa, ya pemiliknya?" gumamnya.

Jelita memandangi kotak emas yang terkunci rapat itu. Ia lalu memutuskan untuk meminta bantuan Ki Barep. Ki Barep adalah Kepala Dusun yang terkenal cerdik. Jelita kemudian bergegas menuju rumah Ki Barep di alun-alun desa.
Hari sudah siang. Alun-alun sangat ramai. Di sana baru saja diadakan pesta menyambut kedatangan Pangeran Tresna. Pangeran datang ke desa itu untuk berburu rusa di hutan. Pangeran Tresna sangat gagah dan tampan. Tak heran jika banyak gadis bangsawan kaya yang datang ke alun-alun. Mereka ingin berkenalan dengan Pangeran Tresna.
Ketika baru saja tiba di depan pintu alun-alun desa, Jelita berpapasan dengan Raden Ayu Mangir. Ia putri bangsawan yang terkaya di kabupaten itu. Dahulu, almarhum ayah Jelita pernah bekerja pada keluarga kaya itu sebagai kusir kereta kuda.
"Heh! Mau apa kau kesini?" hadang Mangir kasar.
"Oh, selamat siang, Den Ayu Mangir," sapa Jelita hormat.

Mangir membalasnya dengan sinis, "Heh! Tak tahu malu! Kau datang ke pesta ini untuk berkenalan dengan Pangeran Tresna, ya? Huh, mana mau ia berkenalan denganmu! Urusi saja kebun sayurmu!"
Sesaat kemudian Mangir melihat kotak emas yang dibawa Jelita. Tiba-tiba timbullah niat jahat di hatinya. Ia ingin memiliki benda itu.
"Aaah, dasar kau pencuri!" teriak Mangir sambil menuding Jelita. Pikir Mangir, semua orang pasti percaya jika ia mengakui kotak emas itu miliknya. Tak akan ada yang percaya pada Jelita yang miskin. "Sudah lama kotak itu hilang. Ternyata kau yang mengambilnya. Ayo cepat kembalikan padaku!" seru Mangir sangat keras, lalu merebut kotak itu dengan kasar.
"Oh, maaf Den Ayu Mangir. Saya tidak mencuri kotak emas itu. Kalau memang benda itu kepunyaan Den Ayu, ambil saja," kata Jelita polos dan lugu.
Namun, Mangir malah berteriak, "Pencuriii! Tolooong ada pencuri!"

Orang-orang percaya begitu saja pada bualan Mangir. Jelita diseret bagaikan penjahat ke hadapan kepala dusun.
"Sabar, kita tak boleh sembarangan menuduh orang. Nak, ceritakanlah! Darimana kau dapat kotak emas itu?" kata Ki Barep yang duduk di sebelah Pangeran Tresna.

Jelita menjelaskan hal yang sesungguhnya serta maksud kedatangannya ke alun-alun desa itu.
"Mangir, sekarang giliranmu menjawab pertanyaanku," kata Ki Barep yang cerdik. "Jika benar kotak itu kepunyaanmu, coba perlihatkan kunci kotak itu! Dan sebutkan apa isi kotak itu!"

Mendengar pertanyaan itu, wajah Mangir mendadak pucat. Namun, ia kembali berbohong untuk meyakinkan Pangeran Tresna, Ki Barep, dan semua yang hadir di sekitar alun-alun itu. "Saat ini saya tidak memiliki kunci kotak itu. Sebab perempuan miskin ini telah mencuri kuncinya. Dan mengenai isinya… ah, saya sudah agak lupa. Lagipula, pasti telah berkurang karena dijual Jelita. Ngg… ada selusin cincin emas, gelang-gelang emas… "
"Cukup! Cukup! Kau berbohong Mangir!" potong Pangeran Tresna. "Sebetulnya kotak emas itu milikku," ungkap Pangeran, lalu mengambil dari sakunya sebuah anak kunci yang juga terbuat dari emas.
Semua yang hadir terperangah melihatnya.
"Sebelum kotak emas itu dibuka, aku akan menjawab pertanyaan Ki Barep yang kedua. Isinya adalah sebuah mahkota emas bertakhta permata hijau."

Pangeran kemudian memberikan kunci tersebut kepada Ki Barep. Dan dengan mudah Ki Barep berhasil membukanya.
"Pangeran benar! Isinya memang mahkota kerajaan yang terbuat dari emas bertakhta permata hijau," kata Ki Barep.
"Bagaimana ini bisa terjadi, Pangeran?" tanya Jelita tidak percaya. Dalam hati Jelita kasihan kepada Mangir. Ia tentu akan dihukum berat karena telah berbohong pada Pangeran.
"Jelita, aku kagum pada kejujuranmu. Baiklah, begini ceritanya," kata Pangeran sambil terus menatap wajah Jelita. Rupanya Pangeran Tresna telah jatuh cinta pada gadis miskin itu.

Permata di mahkota itu agak longgar. Pangeran ingin membawa mahkota itu ke ahli emas di desa itu. Ia membawanya sendiri karena sekalian akan berburu di hutan. Saat melewati tepi sungai yang jernih, Pangeran ingin membasuh mukanya. Ketika akan turun dari kuda yang ditungganginya, tiba-tiba seekor ular kobra besar melintas di dekat kaki kuda. Kuda itu ketakutan dan berlari ke sungai. Akibatnya, semua bekal makanan dan kotak emas yang ada di punggung kuda berjatuhan ke dalam sungai. Hanyut terbawa arus yang deras. Lalu, Jelita-lah yang menemukannya.
Pangeran lalu menyuruh pengawalnya menangkap Mangir. Ia harus dihukum penjara sebab telah memfinah orang.
Jelita yang baik hati lalu dipersunting Pangeran Tresna menjadi permaisurinya. Jelita tak lupa meminta Pangeran agar mengobati mata kakeknya yang buta. Mereka pun hidup bahagia sampai di akhir hayat.

(SELESAI)

Legenda Beru Ginting Sope Mbelin

Posted: 19 Apr 2011 11:28 PM PDT

Untuk memperbaiki kehidupan keluarga maka Ginting Mergana mendirikan perjudian yaitu "judi rampah" dan dia mengutip cukai dari para penjudi untuk mendapatkan uang. Lama kelamaan upayanya ini memang berhasil.


Keberhasilan Ginting Mergana ini menimbulkan cemburu adik kandungnya sendiri. Adik kandungnya ini justru meracuni Ginting Mergana sehingga sakit keras. Akhirnya meninggal dunia. Melaratlah hidup Beru Ginting Sope Mbelin bersama Beru Sembiring.

Empat hari setelah kematian Ginting Mergana, menyusul pula beru Sembiring meninggal. Maka jadilah Beru Ginting sope Mbelin benar-benar anak yatim piatu, tiada berayah tiada beribu.

Beru Ginting Sope Mbelin pun tinggal dan hidup bersama pakcik dan makciknya. Anak ini diperlakukan dengan sangat kejam, selalu dicaci-maki walaupun sebenarnya pekerjaannya semua beres. Pakciknya berupaya memperoleh semua harta pusaka ayah Beru Ginting Sope Mbelin, tetapi ternyata tidak berhasil. Segala siasat dan tipu muslihat pakciknya bersama konco-konconya dapat ditangkis oleh Beru Ginting Sope Mbelin.

Ada-ada saja upaya dibuat oleh makcik dan pakciknya untuk mencari kesalahan Beru Ginting Sope Mbelin, bisalnya menumbuk padi yang berbakul-bakul, mengambil kayu api berikat-ikat dengan parang yang majal, dll. Walau Beru Ginting Sope Mbelin dapat mengerjakannya dengan baik dan cepat – karena selalu dibantu oleh temannya Beru Sembiring Pandan toh dia tetap saja kena marah dan caci-maki oleh makcik dan pakciknya.

Untuk mengambil hati makcik dan pakciknya, maka Beru Ginting Sope Mbelin membentuk "aron" atau "kerabat kerja tani gotong royong" yang beranggotakan empat orang, yaitu Beru Ginting Sope Mbelin, Beru Sembiring Pandan, Tarigan Mergana dan Karo Mergana.

Niat jahat makcik dan pakciknya tidak padam-padamnya. Pakciknya menyuruh pamannya untuk menjual Beru Ginting Sope Mbelin ke tempat lain di luar tanah Urung Galuh Simale. Pamannya membawanya berjalan jauh untuk dijual kepada orang yang mau membelinya.

Di tengah jalan Beru Ginting Sope Mbelin bertemu dengan Sibayak Kuala dan Sibayak Perbesi. Kedua Sibayak ini memberi kain kepada Beru Ginting Sope Mbelin sebagai tanda mata dan berdoa agar selamat di perjalanan dan dapat bertemu lagi kelak.

Kemudian sampailah Beru Ginting Sope Mbelin bersama pamannya di Tanah Alas di kampung Kejurun Batu Mbulan dan diterima serta diperlakukan dengan baik oleh Tengku Kejurun Batu Mbulan secara adat.

Selanjutnya sampailah Beru Ginting Sope Mbelin bersama pamannya di tepi pantai. Di pelabuhan itu sedang berlabuh sebuah kapal dari negeri jauh. Nakhoda kapal itu sudah setuju membeli Beru Ginting Sope Mbelin dengan harga 250 uang logam perak. Beru Ginting Sope Mbelin disuruh naik ke kapal untuk dibawa berlayar. Mesin kapal dihidupkan tetapi tidak jalan. Berulang kali begitu. Kalau Beru Ginting Sope Mbelin turun dari kapal, kapal itu dapat berjalan, tetapi kalau dia naik, kapal tidak dapat berjalan. Nakhoda akhirnya tidak jadi membeli Beru Ginting Sope Mbelin dan uang yang 250 perak itu pun tidak dimintanya kembali.

Perjalanan pun dilanjutkan. Ditengah jalan, paman Beru Ginting Sope Mbelin pun melarikan diri pulang kembali ke kampung. Dia mengatakan bahwa Beru Ginting Sope Mbelin telah dijual dengan harga 250 perak serta menyerahkan uang itu kepada pakciknya Beru Ginting. Pakciknya percaya bahwa Beru Ginting telah terjual.

Beru Ginting Sope Mbelin meneruskan perjalanan seorang diri tidak tahu arah tujuan entah ke mana, naik gunung turun lembah. Pada suatu ketika dia bertemu dengan seekor induk harimau yang sedang mengajar anaknya. Anehnya harimau tidak mau memakan Beru Ginting Sope Mbelin, bahkan menolongnya menunjukkan jalan yang harus ditempuh.

Beru Ginting Sope Mbelin dalam petualangannya sampai pada sebuah gua yang dalam. Penghuni gua – yang bernama Nenek Uban – pun keluar menjumpainya. Nenek Uban ini pun tidak mau memakan Beru Ginting Sope Mbelin bahkan membantunya pula. Nenek tua ini mengetahui riwayat hidup keluarga dan pribadi Beru Ginting Sope Mbelin ini.

Atas petunjuk Nenek Uban ini maka secara agak gaib Beru Ginting Sope Mbelin pun sampailah di tempat nenek Datuk Rubia Gande, yaitu seorang dukun besar atau "guru mbelin". Sesampainya di sana, keluarlah nenek Datuk Rubia Gande serta berkata: "Mari cucu, mari, jangan menangis, jangan takut" dan Beru Ginting Sope Mbelin pun menceritakan segala riwayat hidupnya.

Beru Ginting Sope Mbelin pun menjadi anak asuh nenek Datuk Rubia Gande. Beru Ginting pun sudah remaja dan rupa pun sungguh cantik pula. Konon kabarnya sudah ada jejaka yang ingin mempersuntingnya. Tetapi Beru Ginting Sope Mbelin tidak berani mengeluarkan isi hatinya karena yang memeliharanya adalah nenek Datuk Rubia Gande. Oleh karena itu kepada setiap jejaka yang datang dia berkata : "tanya saja pada nenek saya itu". Dan neneknya pun berkata kepada setiap orang: "tanya saja pada cucu saya itu!". Karena jawaban yang seperti itu jadinya orang bingung dan tak mau lagi datang melamar.

Ternyata antara Beru Ginting Sope Mbelin dan nenek Datuk Gande terdapar rasa saling menghargai. Inilah sebabnya masing-masing memberi jawaban pada orang yang datang "tanya saja pada dia!" Akhirnya terdapat kata sepakat, bahwa Beru Ginting mau dikimpoikan asal dengan pemuda/pria yang sependeritaan dengan dia. Neneknya pun setuju dengan hal itu.

Akhirnya, nenek Datuk Rubia Gande pun dapat memenuhi permintaan cucunya, dengan mempertemukan Beru Ginting Sope Mbelin dengan Karo Mergana penghulu Kacaribu, berkat bantuan burung Danggur Dawa-Dawa. Dan kedua insan ini pun dikimpoikanlah oleh nenek Datuk Rubia Gande menjadi suami-istri.

Setelah beberapa hari, bermohonlah Karo Mergana kepada nenek Datuk Rubia Gande agar mereka diizinkan pulang ke tanah kelahiran Beru Ginting Sope Mbelin, karena begitulah keinginan cucunya Beru Ginting itu. Nenek Datuk Rubia Gande menyetujui usul itu serta merestui keberangkatan mereka.

Berangkatlah Beru Ginting Sope Mbelin dengan suaminya Karo Mergana memulai perjalanan. Mereka berjalan beberapa lama mengikuti rute perjalanan Beru Ginting Sope Mbelin dulu waktu meninggalkan tanah urung Galuh Simale. Mereka singgah di kampung Kejurun Batu Mbulan, di pelabuhan di tepi pantai tempat berlabuh kapal nakhoda dulu, melalui simpang Perbesi dan Kuala bahkan berhenti sejenak di situ.

Sampailah mereka di antara Perbesi dan Kuala. Anehnya, di sana mereka pun berjumpa pula dengan Sibayak Kuala dan Sibayak Perbesi. Kedua Sibayak ini sangat bergembira karena dulu mereka pernah memberi kain masing-masing sehelai kepada Beru Ginting Sope Mbelin yang sangat menderita berhati sedih pada waktu itu, dan kini mereka dapat pula bertemu dengan Beru Ginting Sope Mbelin bersama suaminya Karo Mergana.

Jadinya, Beru Ginting Sope Mbelin bersama suaminya Karo Mergana, bermalam pula beberapa lama di Kuala dan Perbesi atas undangan kedua sibayak tersebut. Dan disediakan pula pengiring yang mengantarkan Beru Ginting Sope Mbelin bersama Karo Mergana ke tanah Urung Galuh Simale. Semuanya telah diatur dengan baik: perangkat gendang yang lengkap, makanan yang cukup bahkan banyak sekali. Pendeknya, Beru Ginting Sope Mbelin bersama suaminya diantar dengan upacara yang meriah atas anjuran dan prakarsa Sibayak Kuala dan Sibayak Perbesi yang bijaksana dan baik hati.

Ternyata pakcik Beru Ginting Sope Mbelin dulu – yang juga seorang dukun – mempunyai firasat yang kurang baik terhdapa dirinya. Oleh karena itu pada saat tibanya Beru Ginting Sope Mbelin di kampungnya, pakciknya itu sekeluarga menyembunyikan diri di atas para-para rumah. Akan tetapi akhrinya diketahui juga oleh Beru Ginting Sope Mbelin.

Pakcik dan makcik Beru Ginting Sope Mbelin dibawa turun ke halaman untuk dijamu makan dan diberi pakaian baru oleh Beru Ginting Sope Mbelin. Pakcik dan makciknya itu sangat malu dan tidak mengira bahwa Beru Ginting Sope Mbelin akan pulang kembali ke kampung apalagi bersama suaminya pula yaitu Karo Mergana.

Berbagai bunyi-bunyian pun dimainkan, terutama sekali "gendang tradisional" Karo serta diiringi dengan tarian, antara lain:

a. gendang si ngarak-ngaraki;
b. gendang perang si perangen;
c. gendan perang musuh;
d. gendang mulih-mulih;
e. gendang ujung perang;
f. gendang rakut;
g. gendang jumpa malem;
h. gendang morah-morah;
i. gendang tungo-tungko.
Dan sebagai hukuman atas kekejaman dan kebusukan hati pakcik dan makciknya itu maka tubuh mereka ditanam sampai bahu masing-masing di beranda barat dan beranda timur, hanya kepalanya saja yang nampak. Kepala mereka itulah yang merupakan anak tangga yang harus diinjak kalau orang mau masuk dan keluar rumah adat. Itulah hukuman bagi orang yang tidak berperikemanusiaan yang berhati jahat terhadap saudara dan kakak serta anaknya sendiri.

Sumber: RAPOLO

Legenda Putri Bidadari “Si Boru Natumandi Hutabarat”

Posted: 19 Apr 2011 11:24 PM PDT

Gadis ini selalu dipingit oleh kedua orangtuanya karena parasnya yang cukup cantik bak seorang bidadari. Di zamannya, gadis ini diyakini yang tercantik diantara gadis-gadis di Silindung (Tarutung).
Berawal saat si boru Natumandi diusianya yang sudah beranjak dewasa, memiliki pekerjaan sehari-hari sebagai seorang petenun ulos. Di sebuah tempat khusus yang disediakan oleh orangtuanya, setiap hari Si boru Natumandi lebih sering menyendiri sambil bertenun, kesendirian itu bukan karena keinginannya untuk menghindar dari gadis-gadis desa seusianya, namun karena memang kedua orangtuanya-lah memingit karena terlalu sayang.


Salah satu warga Desa Hutabarat yakni Lomo Hutabarat (51) yang mengaku satu garis keturunan dengan keluarga Si Boru Natumandi belum lama ini berkata, bahwa dulunya kampung halaman Si boru Natumandi adalah di Dusun Banjar Nahor, Desa Hutabarat, namun dusun itu kemudian pindah sekitar 500 meter dari desa semula dan sekarang diberi nama Dusun Banjar Nauli.


Dikatakan Lomo Hutabarat, bahwa dari 3 anak si Raja Nabarat (Hutabarat) antara lain Sosunggulon, Hapoltahan dan Pohan, Si boru Natumandi dikatakan berasal dari keturunan Hutabarat Pohan. Sementara itu keturunan Si boru Natumandi lainnya yakni L Hutabarat (76) mengisahkan, bahwa dia juga tidak mengetahui persis cerita yang sebenarnya tentang Si boru Natumandi, menurutnya ada beberapa versi tentang legenda gadis cantik ini.


Berikut kisah Siboru Natumandi yang diketahui L Hutabarat. Suatu hari di siang bolong, Si boru Natumandi sibuk bertenun di gubuk khususnya, tiba-tiba seekor ular besar jadi-jadian menghampirinya, konon ular tersebut dikatakan orang sakti bermarga Simangunsong yang datang dari Pulau Samosir. Saat ular itu berusaha menghampiri si boru Natumandi, ia justru melihat sosok ular tersebut adalah seorang pria yang gagah perkasa dan tampan. Saat itulah, sang ular berusaha merayu dan mengajak Si boru Natumandi untuk mau menikah dengannya.


Melihat ketampanan dan gagahnya sang ular jadi-jadian tersebut, Si boru Natumandi akhirnya menerima pinangan tersebut, setelah pinangannya diterima, sang ular kemudian mengajak Si Boru Natumandi untuk pergi menuju ke arah sungai Aek Situmandi dan melewati tempat pemandian sehari-hari Si boru Natumandi di Sungai Aek Hariapan. Dari tempat itu, mereka meninggalkan pesan kepada orangtua Si Boru Natumandi dengan cara menabur sekam padi dari tempat bertenun hingga ke Liang Si boru Natumandi sekarang. Pesan sekaligus tanda itu artinya agar Bapak/Ibu dan semua keluarga mengetahui kalau dia telah pergi dan akan menikah dengan seorang pria, dimana sekam padi tersebut bermakna sampai dimana sekam ini berakhir, disitulah Si Boru Natumandi berada.


Sore harinya, saat kedua orangtuanya pulang dari perladangan, mereka mulai curiga melihat putri semata wayang mereka tidak ada ditempatnya bertenun dan juga tidak ada dirumah, akhirnya kedua orangtuanya memutuskan untuk memberitahukan warga sekitar untuk melakukan pencarian.
Melihat sekam padi yang bertaburan bak sebuah garis pertanda dan tak kunjung ditemukannya Si boru Natumandi hingga keesokan harinya, akhirnya taburan sekam di tepi sungai Aek Situmandi dan berujung disebuah liang/gua yang hanya berjarak sekitar 500 meter dari kampung halaman Si boru Natumandi diyakini kalau Si boru Natumandi menikah dengan seekor ular.


Namun versi cerita lainnya, ternyata Si boru Natumandi tidak menikah dengan siluman ular yang bermarga Simangunsong, akan tetapi siluman ular tersebut malah meninggalkan si boru Natumandi begitu saja disebuah hamparan tak berpenduduk.


Setelah ditinggalkan begitu saja, Si boru Natumandi terus menerus menangis karena telah tertipu siluman ular tersebut, namun ketika itu seorang pengembala datang dan menghampirinya, penggembala tersebut juga terpikat melihat keindahan tubuh dan kecantikannya, lalu sipengembala mengajaknya agar mau menikah dengannya. Konon dalam versi ini, si pengembala tersebut dikatakan bermarga Sinaga.


Si pengembala kemudian membawa Si boru Natumandi ke Pulau Samosir untuk dinikahi. Berselang beberapa generasi keturunan si boru Natumandi dan si pengembala bermarga Sinaga tersebut di Samosir, keturunannya dikatakan pernah berusaha mencari asal usul si boru Natumandi (Untuk mencari Tulang/pamannya). Usaha pun dimulai dengan menyeberangi Danau Toba dengan sebuah perahu kayu menuju Kota Tarutung dengan membawa sejumlah makanan khas adat batak. Namun sesampainya di Sipoholon (Kota Sebelum Tarutung saat ini) ada keturunan Hutabarat Pohan bermukin disana, yakni dari keturunan Raja Nabolon Donda Raja.


Saat rombongan bertanya tentang Si boru Natumandi, keturunan Raja Nabolon Donda Raja yang tinggal di Sipoholon langsung mengakui kalau merekalah keturunan si boru Natumandi, dan saat itu makanan yang dibawa keturunan si boru Natumandi langsung mereka terima hingga akhirnya acara syukuran pun dilakukan. Padahal keturunan Si boru Natumandi sebenarnya adalah anak kedua dari si Hutabarat Pohan yakni si Raja Nagodang yang sampai saat ini masih ada tinggal di Dusun Banjar Nauli.


Setelah acara syukuran dilakukan, rombongan keturunan Si Boru Natumandi pun berangkat kembali ke Samosir untuk memberitahukan kabar tersebut kepada keluarga. Namun saat menyeberangi Danau Toba perahu yang mereka tumpangi tenggelam hingga semua yang ada dalam perahu meninggal dunia.


Versi selanjutnya, Si boru Natumandi dikatakan menikah dengan resmi, hal ini menurut L Hutabarat, karena sejak dia masih kecil pernah melihat sebuah guci yang terbuat dari kayu tempat mas kimpoi si boru Natumandi di rumah saudaranya boru Simatupang. Saat itu, boru Simatupang mengatakan kepada L Hutabarat bahwa guci tersebut adalah tempat mas kimpoi si boru Natumandi.


Guci tersebut konon memiliki sejarah tersendiri, dimana isi guci tersebut hanya dipenuhi kunyit yang suatu saat akan berubah menjadi kepingan/batangan emas, hal ini diberikan dan dipastikan keluarga suami Si boru Natumandi yang memiliki kesaktian, dan selanjutnya kepada kedua orangtuanya diminta untuk tidak membuka guci tersebut sebelum tujuh hari tujuh malam. Akan tetapi, orangtua Si boru Natumandi melanggar permintaan tersebut.


Setelah kedua orangtuanya membuka guci itu, ternyata kunyit tersebut sudah mulai berubah mejadi batangan emas murni. Nasib sial pun dialami kedua orangtua Si boru Natumandi kala itu. Tatkala usia orangtua Si boru Natumandi beranjak ujur, akhirnya mereka menimbun emas tersebut di Dolok Siparini (Masih di Desa Hutabarat) karena takut akan menjadi bahan rebutan bagi adik-adiknya dan keluarganya (Dari pihak laki-laki) suatu saat nanti, sebab banyak diantara keluarganya yang mengetahui tentang kisah guci ini.

Asal Mula Danau Si Losung Dan Si Pinggan

Posted: 19 Apr 2011 11:22 PM PDT


Pada suatu hari, ayah dan ibu mereka pergi ke hutan untuk mencari tumbuhan obat-obatan. Akan tetapi saat hari sudah menjelang sore, sepasang suami-istri itu belum juga kembali. Akhirnya, Datu Dalu dan adiknya memutuskan untuk mencari kedua orang tua mereka. Sesampainya di hutan, mereka menemukan kedua orang tua mereka telah tewas diterkam harimau.

Dengan sekuat tenaga, kedua abang-adik itu membopong orang tua mereka pulang ke rumah. Usai acara penguburan, ketika hendak membagi harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tua mereka, keduanya baru menyadari bahwa orang tua mereka tidak memiliki harta benda, kecuali sebuah tombak pusaka. Menurut adat yang berlaku di daerah itu, apabila orang tua meninggal, maka tombak pusaka jatuh kepada anak sulung. Sesuai hukum adat tersebut, tombak pusaka itu diberikan kepada Datu Dalu, sebagai anak sulung.

Pada suatu hari, Sangmaima ingin meminjam tombak pusaka itu untuk berburu babi di hutan. Ia pun meminta ijin kepada abangnya.

"Bang, bolehkah aku pinjam tombak pusaka itu?"

"Untuk keperluan apa, Dik?"

"Aku ingin berburu babi hutan."

"Aku bersedia meminjamkan tombak itu, asalkan kamu sanggup menjaganya jangan sampai hilang."

"Baiklah, Bang! Aku akan merawat dan menjaganya dengan baik."

Setelah itu, berangkatlah Sangmaima ke hutan. Sesampainya di hutan, ia pun melihat seekor babi hutan yang sedang berjalan melintas di depannya. Tanpa berpikir panjang, dilemparkannya tombak pusaka itu ke arah binatang itu. "Duggg…!!!" Tombak pusaka itu tepat mengenai lambungnya. Sangmaima pun sangat senang, karena dikiranya babi hutan itu sudah roboh. Namun, apa yang terjadi? Ternyata babi hutan itu melarikan diri masuk ke dalam semak-semak.

"Wah, celaka! Tombak itu terbawa lari, aku harus mengambilnya kembali," gumam Sangmaima dengan perasaan cemas.

Ia pun segera mengejar babi hutan itu, namun pengejarannya sia-sia. Ia hanya menemukan gagang tombaknya di semak-semak. Sementara mata tombaknya masih melekat pada lambung babi hutan yang melarikan diri itu. Sangmaima mulai panik.

"Waduh, gawat! Abangku pasti akan marah kepadaku jika mengetahui hal ini," gumam Sangmaima.

Namun, babi hutan itu sudah melarikan diri masuk ke dalam hutan. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk kembali ke rumah dan memberitahukan hal itu kepada Abangnya.

"Maaf, Bang! Aku tidak berhasil menjaga tombak pusaka milik Abang. Tombak itu terbawa lari oleh babi hutan," lapor Sangmaima.

"Aku tidak mau tahu itu! Yang jelas kamu harus mengembalikan tombok itu, apa pun caranya," kata Datu Dalu kepada adiknya dengan nada kesal."

Baiklah, Bang! Hari ini juga aku akan mencarinya," jawab Sangmaima.

"Sudah, jangan banyak bicara! Cepat berangkat!" perintah Datu Dalu.

Saat itu pula Sangmaima kembali ke hutan untuk mencari babi hutan itu. Pencariannya kali ini ia lakukan dengan sangat hati-hati. Ia menelesuri jejak kaki babi hutan itu hingga ke tengah hutan. Sesampainya di tengah hutan, ia menemukan sebuah lubang besar yang mirip seperti gua. Dengan hati-hati, ia menyurusi lubang itu sampai ke dalam. Alangkah terkejutnya Sangmaima, ternyata di dalam lubang itu ia menemukan sebuah istana yang sangat megah.

"Aduhai, indah sekali tempat ini," ucap Sangmaima dengan takjub.

"Tapi, siapa pula pemilik istana ini?" tanyanya dalam hati.

Oleh karena penasaran, ia pun memberanikan diri masuk lebih dalam lagi. Tak jauh di depannya, terlihat seorang wanita cantik sedang tergeletak merintih kesakitan di atas pembaringannya. Ia kemudian menghampirinya, dan tampaklah sebuah mata tombak menempel di perut wanita cantik itu. "Sepertinya mata tombak itu milik Abangku," kata Sangmaima dalam hati. Setelah itu, ia pun menyapa wanita cantik itu.

"Hai, gadis cantik! Siapa kamu?" tanya Sangmaima.

"Aku seorang putri raja yang berkuasa di istana ini."

"Kenapa mata tombak itu berada di perutmu?"

"Sebenarnya babi hutan yang kamu tombak itu adalah penjelmaanku."

"Maafkan aku, Putri! Sungguh aku tidak tahu hal itu."

"Tidak apalah, Tuan! Semuanya sudah terlanjur. Kini aku hanya berharap Tuan bisa menyembuhkan lukaku."

Berbekal ilmu pengobatan yang diperoleh dari ayahnya ketika masih hidup, Sangmaima mampu mengobati luka wanita itu dengan mudahnya. Setelah wanita itu sembuh dari sakitnya, ia pun berpamitan untuk mengembalikan mata tombak itu kepada abangnya.

Abangnya sangat gembira, karena tombak pusaka kesayangannya telah kembali ke tangannya. Untuk mewujudkan kegembiraan itu, ia pun mengadakan selamatan, yaitu pesta adat secara besar-besaran. Namun sayangnya, ia tidak mengundang adiknya, Sangmaima, dalam pesta tersebut. Hal itu membuat adiknya merasa tersinggung, sehingga adiknya memutuskan untuk mengadakan pesta sendiri di rumahnya dalam waktu yang bersamaan. Untuk memeriahkan pestanya, ia mengadakan pertunjukan dengan mendatangkan seorang wanita yang dihiasi dengan berbagai bulu burung, sehingga menyerupai seekor burung Ernga. Pada saat pesta dilangsungkan, banyak orang yang datang untuk melihat pertunjukkan itu.

Sementara itu, pesta yang dilangsungkan di rumah Datu Dalu sangat sepi oleh pengunjung. Setelah mengetahui adiknya juga melaksanakan pesta dan sangat ramai pengunjungnya, ia pun bermaksud meminjam pertunjukan itu untuk memikat para tamu agar mau datang ke pestanya.

"Adikku! Bolehkah aku pinjam pertunjukanmu itu?"

"Aku tidak keberatan meminjamkan pertunjukan ini, asalkan Abang bisa menjaga wanita burung Ernga ini jangan sampai hilang."

"Baiklah, Adikku! Aku akan menjaganya dengan baik."

Setelah pestanya selesai, Sangmaima segera mengantar wanita burung Ernga itu ke rumah abangnya, lalu berpamitan pulang. Namun, ia tidak langsung pulang ke rumahnya, melainkan menyelinap dan bersembunyi di langit-langit rumah abangnya. Ia bermaksud menemui wanita burung Ernga itu secara sembunyi-sembunyi pada saat pesta abangnya selesai.

Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Pada malam harinya, Sangmaima berhasil menemui wanita itu dan berkata:

"Hai, Wanita burung Ernga! Besok pagi-pagi sekali kau harus pergi dari sini tanpa sepengetahuan abangku, sehingga ia mengira kamu hilang."

"Baiklah, Tuan!" jawab wanita itu.

Keesokan harinya, Datu Dalu sangat terkejut.

Wanita burung Ernga sudah tidak di kamarnya. Ia pun mulai cemas, karena tidak berhasil menjaga wanita burung Ernga itu. "Aduh, Gawat! Adikku pasti akan marah jika mengetahui hal ini," gumam Datu Dalu. Namun, belum ia mencarinya, tiba-tiba adiknya sudah berada di depan rumahnya.

"Bang! Aku datang ingin membawa pulang wanita burung Ernga itu.

Di mana dia?" tanya Sangmaima pura-pura tidak tahu.

"Maaf Adikku! Aku telah lalai, tidak bisa menjaganya. Tiba-tiba saja dia menghilang dari kamarnya," jawab Datu Dalu gugup.

"Abang harus menemukan burung itu," seru Sangmaima.

"Dik! Bagaimana jika aku ganti dengan uang?" Datu Dalu menawarkan.

Sangmaima tidak bersedia menerima ganti rugi dengan bentuk apapun. Akhirnya pertengkaran pun terjadi, dan perkelahian antara adik dan abang itu tidak terelakkan lagi. Keduanya pun saling menyerang satu sama lain dengan jurus yang sama, sehingga perkelahian itu tampak seimbang, tidak ada yang kalah dan menang.

Datu Dalu kemudian mengambil lesung lalu dilemparkan ke arah adiknya. Namun sang Adik berhasil menghindar, sehingga lesung itu melayang tinggi dan jatuh di kampung Sangmaima. Tanpa diduga, tempat jatuhnya lesung itu tiba-tiba berubah menjadi sebuah danau. Oleh masyarakat setempat, danau tersebut diberi nama Danau Si Losung.

Sementara itu, Sangmaima ingin membalas serangan abangnya. Ia pun mengambil piring lalu dilemparkan ke arah abangnya. Datu Dalu pun berhasil menghindar dari lemparan adiknya, sehingga piring itu jatuh di kampung Datu Dalu yang pada akhirnya juga menjadi sebuah danau yang disebut dengan Danau Si Pinggan.

Demikianlah cerita tentang asal-mula terjadinya Danau Si Losung dan Danau Si Pinggan di daerah Silahan, Kecamatan Lintong Ni Huta, Kabupaten Tapanuli Utara.

Cerita di atas termasuk ke dalam cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Ada dua pesan moral yang dapat diambil sebagai pelajaran, yaitu agar tidak bersifat curang dan egois.

- sifat curang. Sifat ini tercermin pada sifat Sangmaima yang telah menipu abangnya dengan menyuruh wanita burung Ernga pergi dari rumah abangnya secara sembunyi-sembunyi, sehingga abangnya mengira wanita burung Ernga itu hilang. Dengan demikian, abangnya akan merasa bersalah kepadanya.

- sifat egois. Sifat ini tercermin pada perilaku Sangmaima yang tidak mau memaafkan abangnya dan tidak bersedia menerima ganti rugi dalam bentuk apapun dari abangnya.

note: Ernga – kumbang hijau yang menyerupai burung, yang sangat nyaring suaranya ketika menjerit pada waktu maghrib.

Misteri Prasasti Dolok Tolong

Posted: 19 Apr 2011 11:18 PM PDT

Tidak banyak literatur yang membahas eksistensi prasasti Dolok Tolong di Balige, Kabupaten Toba Samosir ini. Seperti prasasti dan inskripsi lain yang berada di Tanah Batak di Tapanuli, prasasti Dolok Tolong seakan tenggelam dengan eksistensi ribuan prasasti di Indonesia. Walaupun prasasti ini tidak akan berpengaruh besar terhadap sejarah Indonesia secara keseluruhan, namun diyakini keanehan tetap ada karena prasasti ini tepat berada di sekitar jantung Tanah Batak. Bahkan Balige merupakan pusat perdagangan kerajaan Batak sejak dahulu kala dengan istilahnya; 'Onan Bolon'.

Di Onan Bolon inilah berbagai bentuk hukum dan konstitusi diamandemen dengan keterlibatan langsung rakyat dan masyarakat yang juga memanfaatkan onan sebagai pusat transaksi dagang yang memang menjadi tujuan utama.

Prasasti Dolok Tolong ini seakan menjelaskan sekali lagi pluralisme masyarakat Tapanuli dan Batak yang menjadi cikal bakal budaya toleransi dan tenggang rasa yang tinggi yang dianut oleh setiap orang Tapanuli sampai sekarang ini. Sikap itu tampak dari bentuk pemikiran yang terbuka atas segala bentuk ide dan konsep. Tentunya, terdapat juga kemungkinan adanya bagian kecil orang Batak yang berpikiran picik seperti halnya di berbagai tempat lainnya di Indonesia.

Tapanuli, seperti halnya daerah lain di Indonesia, merupakan daerah yang juga banyak mendapat pengaruh dari dunia luar. Beberapa manuskrip kuno seperti Sejarah Raja-jara Barus, Hikayat Raja Tuktung dan Hikayat Hamparan Perak dan lain sebagainya, banyak menceritakan struktur masyarakat dan sosial Batak di zaman dahulu. Baik itu penjelasan mengenai saat-saat pembentukan sistem hukum dan perundangan-undangan maupun penjelasan mengenai peran orang Batak sebagai penyebar agama Islam di sekitar daerah yang sekarang menjadi bagian dari Sumatera Utara.

Dari berbagai manuskrip itu didapat sejarah Kerajaan Balige di tahun 1500-an yang saat itu diperintah oleh putra bungsu dari Si Raja Hita, putera Sisingamangaraja I yang menghilang dari Bakkara. Abang sulung dari Raja Balige tersebut bernama Guru Patimpus, seorang Raja dan Ulama, yang kemudian bermigrasi ke pesisir Timur Sumatera. Dia, yang memiliki anak-anak yang hafizd al-Qur'an, dikenal sebagai pendiri Kota Medan di tahun 1590.

Selain bukti sejarah tersebut, eksistensi prasasti Dolok Tolong diyakini merupakan bukti utama atas persinggungan budaya Batak dengan peradaban Hindu dan Buddha di Indonesia.

Menurut berbagai literatur yang secara terpecah-pecah menyinggung bukti sejarah ini, prasati ini merupakan prasasti atas eksistensi orang Majapahit di Tanah Batak. Saat itu, pasukan marinir Majapahit mengalami kekalahan pahit di Selat Malaka. Melalui sungai Barumun mereka menyelamatkan diri ke daratan Sumatera sampai ke suatu daerah di Portibi. Di sana, mereka dicegat masyarakat sehingga membuat mereka terpaksa melanjutkan pelarian sampai ke Bukit Dolok Tolong di Balige. Di Gunung inilah mereka meminta suaka politik kepada seorang Raja di tempat dari sub-rumpun marga Sumba (Isumbaon) yang saat itu menguasai wilayah tersebut.

Dolok Tolong, yang juga dikenal dengan nama Tombak Longo-longo Sisumbaon, ini merupakan sebuah pegunungan yang lumayan tinggi, dari puncaknya pandangan dapat di arahkan ke tanah Asahan, Labuhan Batu dan Angkola Sipirok dengan pemandangan yang sangat mempesona.

Diceritakan, seorang Pangeran yang mempimpin pelarian tersebut akhirnya memerintahkan untuk membuat prasasti tersebut sebagai sebuah hasil penjanjian dengan Raja dari marga Sumba tersebut dimana mereka diijinkan untuk tinggal di wilayah itu.

Pendapat lain mengatakan bahwa Pangeran tersebut juga menikahkan seorang putri yang ikut dalam rombongan pelarian kepada seorang raja Batak di tempat. Putri tersebut bernama Si Boru Baso Paet. Ada yang menafsirkan bahwa Si Boru Paso Paet sebenarnya merupakan perusakan kata dari Si Boru Majapahit yang artinya Srikandi Majapahit.

Lebih jauh lagi ada pula yang mengatakan bahwa Si Boru Baso Paet itulah yang menjadi nenek moyang orang Batak. Namun keterangan ini menjadi membingungkan karena eksistensi orang Batak di berbagai literatur telah ada berabad-abad sebelumnya dan bahkan ada pada ke-2 M telah berinteraksi dengan pelaut asing seperti yang diceritakan oleh Ptolemeus, tapi dengan nada negatif.

Tapi bila dilihat dari nama penamaan tempat itu oleh orang setempat, Tombak Longo-longo Sisumbaon, ada kemungkinan bahwa bukit tersebut merupakan pusat religi kaum animisme dan paganisme Batak dahulu kala. Arti harfiah dari kalimat tersebut adalah Hutan Rimba Yang Menjadi Tempat Persembahan. Eskistensi nama tempat ini sepertinya mirip dengan nama Dolok Partangisan di sebuah daerah antara Dolok Sanggul dan Tele yang merupakan tempat tradisional untuk memberikan sesajen berupa manusia (korban) untuk memuja roh atau dikenal dengan istilah mamele begu.

Yang sangat disayangkan adalah tidak adanya sebuah penelitian yang menyeluruh atas apa isi dan arti sebenarnya dari tulisan atau tanda yang terdapat di prasasti tersebut. Bukan tidak mungkin, selain dari dugaan kedatangan orang Majapahit, sebenarnya terdapat bentuk kebudayaan di Balige yang selama ini tidak dikenal. Atau kemungkinan-kemungkinan lainnya.

Tentu yang paling disayangkan lagi adalah rendahnya peran pemerintah daerah dalam menghormati eksistensi bukti-bukti sejarah ini. Padahal tidak sedikit dana APBD dikucurkan untuk membangun objek-objek wisata, konvensional maupun rohani, yang tampaknya sangat berlebihan dan terkesan mubazzir serta tidak produktif. Pemerintah seharusnya tidak terjebak dalam sebuah kebijakan yang malah menghilangkan nilai-nilai pluralisme budaya dan adat.

Bukan tidak mungkin apabila prasasti ini dapat diungkap lebih mendalam lagi, banyak kearifan lokal yang banyak diambil hikmahnya oleh generasi muda sekarang ini.

Legenda Putri Ular dari Simalungun

Posted: 19 Apr 2011 11:01 PM PDT


Berita tentang kecantikan putri raja itu tersebar ke berbagai pelosok negeri. Berita tersebut juga didengar oleh seorang raja muda yang memerintah di sebuah kerajaan yang letaknya tidak jauh dari kerajaan ayah sang Putri.

Mendengar kabar tersebut, Raja Muda yang tampan itu berniat melamar sang putri. Sang raja kemudian mengumpulkan para penasehat kerajaan untuk memusyawarahkan keinginannya tersebut.
"Wahai, para penasehatku! Apakah kalian sudah mendengar berita kecantikan putri itu?" tanya sang raja kepada penasehatnya.
"Sudah, Tuan!" jawab para penasehat serantak.
"Bagaimana menurut kalian, jika sang putri itu aku jadikan sebagai permaisuri?" sang Raja kembali bertanya.
"Hamba setuju, Tuan!" jawab salah seorang penasehat.
"Iya, Tuan! Hamba kira, Tuan dan Putri adalah pasangan yang sangat serasi. Tuan seorang raja muda yang tampan, sedangkan sang putri seorang gadis yang cantik jelita," tambah seorang penasehat.
"Baiklah kalau begitu. Segera persiapkan segala keperluan untuk meminang sang putri," perintah sang raja.
"Baik, Baginda!" jawab seluruh penasehat serentak.
Keesokan harinya, tampak rombongan utusan raja muda meninggalkan istana menuju negeri tempat tinggal sang putri. Sesampainya di sana, mereka disambut dan dijamu dengan baik oleh ayah sang putri. Usai perjamuan, utusan sang raja muda pun menyampaikan maksud kedatangan mereka.
"Ampun, Baginda! Maksud kedatangan kami ke sini adalah hendak menyampaikan pinangan Raja kami," jawab salah seorang utusan yang bertindak sebagai juru bicara.
"Kami menerima pinangan Raja kalian dengan senang hati, karena kedua kerajaan akan bersatu untuk mewujudkan masyarakat yang makmur, damai dan sejahtera," jawab sang raja.
"Terima kasih, Baginda! Berita gembira ini segera kami sampaikan kepada Raja kami. Akan tetapi…, Raja kami berpesan bahwa jika lamaran ini diterima pernikahan akan dilangsungkan dua bulan lagi," ujar utusan tersebut.
"Kenapa begitu lama?" tanya sang Raja tidak sabar.
"Raja kami ingin pernikahannya dilangsungkan secara besar-besaran," jawab utusan itu.
"Baiklah kalau begitu, kami siap menunggu," jawab sang Raja.
Usai berunding, utusan Raja Muda berpamitan kepada sang Raja untuk kembali ke negeri mereka. Setibanya di sana, mereka langsung melaporkan berita gembira itu kepada Raja mereka, bahwa pinangannya diterima. Sang Raja Muda sangat gembira mendengar berita itu.
"Kalau begitu, mulai saat ini kita harus menyiapkan segala keperluan untuk upacara pernikahan ini!" seru Raja Muda.
"Baiklah, Tuan! Segera kami kerjakan," jawab seorang utusan.
Sementara itu, setelah para utusan Raja Muda kembali ke negeri mereka, ayah sang Putri menemui putrinya dan menyampaikan berita pinangan itu.
"Wahai, putriku! Tahukah engkau maksud kedatangan para utusan itu?" tanya sang Raja kepada putrinya.
"Tidak, ayah! Memangnya ada apa, yah?" sang putri balik bertanya.
"Ketahuilah, putriku! Kedatangan mereka kemari untuk menyampaikan pinangan raja mereka yang masih muda. Bagaimana menurutmu?" tanya sang Ayah.
"Jika ayah senang, putri bersedia," jawab sang Putri malu-malu.
"Ayah sangat bangga memiliki putri yang cantik dan penurut sepertimu, wahai putriku!" sanjung sang Ayah.
"Putriku, jagalah dirimu baik-baik! Jangan sampai terjadi sesuatu yang dapat membatalkan pernikahanmu," tambah sang ayah.
"Baik, ayah!" jawab sang putri.

Menjelang hari pernikahannya, sebagaimana biasa, setiap pagi sang putri pergi mandi dengan ditemani beberapa orang dayangnya di sebuah kolam yang berada di belakang istana. Di pinggir kolam disiapkan sebuah batu besar untuk tempat duduk sang putri. Usai berganti pakaian, sang putri segera masuk ke dalam kolam berendam sejenak untuk menyejukkan sekujur tubuhnya.

Setelah beberapa saat berendam, sang putri duduk di atas batu di tepi kolam. Sambil menjuntaikan kakinya ke dalam air, sang putri membayangkan betapa bahagianya saat pernikahan nanti, duduk bersanding di pelaminan bersama sang suami, seorang Raja Muda yang gagah dan tampan.
Di tengah-tengah sang putri asyik mengkhayal dan menikmati kesejukan air kolam itu, tiba-tiba angin bertiup kencang. Tanpa diduga, sebuah ranting pohon yang sudah kering mendadak jatuh tepat mengenahi ujung hidung sang putri.

"Aduuuh, hidungku!" jerit sang putri sambil memegang hidungnya.
Dalam sekejap, tangan putri yang malang itu penuh dengan darah. Sambil menahan rasa sakit, sang putri menyuruh dayang-dayangnya untuk diambilkan cermin. Betapa terkejut dan kecewanya sang putri saat melihat wajahnya di cermin. Hidungnya yang semula mancung itu tiba-tiba menjadi sompel (hilang sebagian) tertimpa ranting pohon yang ujungnya tajam. Kini wajah sang putri tidak cantik lagi seperti semula. Ia sangat sedih dan air matanya pun bercucuran keluar dari kelopak matanya.

"Celaka! Pernikahanku dengan raja muda akan gagal. Ia pasti akan mencari putri lain yang tidak memiliki cacat. Jika aku gagal menikah dengan raja muda, ayah dan ibu pasti kecewa dan malu di hadapan rakyatnya," pikir sang putri.
Sang putri sangat tertekan. Pikiran-pikiran itu terus berkecamuk di kepalanya. Hatinya pun semakin bingung. Ia tidak ingin membuat malu dan kecewa kedua orang tuanya. Namun, ia tidak mampu mengatasi permasalahan yang sedang dihadapinya. Ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi, selain menyesali nasibnya yang malang itu.

Sang putri pun jadi putus asa. Sambil menangis, ia menengadahkan kedua tangannya ke atas, lalu berdoa:
"Ya, Tuhan! Hukumlah hambamu ini yang telah membuat malu dan kecewa orang tuanya!" doa sang putri dengan mata berkaca-kaca.

Baru saja doa itu terucap dari mulut sang putri, tiba-tiba petir menyambar-nyambar sebagai tanda doa sang putri didengar oleh Tuhan. Beberapa saat kemudian, tubuh sang putri mengalami perubahan yang sangat mengejutkan. Kakinya yang putih mulus tiba-tiba mengeluarkan sisik. Sisik tersebut semakin merambat ke atas. Dayang-dayangnya pun tersentak kaget saat melihat peristiwa itu. Ketika sisik itu mencapai dada, sang putri segera memerintahkan seorang dayang-dayangnya untuk memberi tahu ayah dan ibunya di dalam istana.
"Ampun, Tuan!" hormat sang dayang kepada raja.
"Ada apa, dayang-dayang?" tanya sang raja.
"Ampun, Tuan! Kulit tuan putri mengeluarkan sisik seperti ular," lapor sang dayang.
"Apa…? Anakku mengeluarkan sisik!" tanya sang raja tersentak kaget.
"Benar, Tuan! Hamba sendiri tidak tahu kenapa hal itu bisa terjadi," jawab sang dayang.

Setelah mendengar laporan itu, sang raja dan permaisuri segera menuju ke kolam permandian. Sesampainya di tempat itu, mereka sudah tidak melihat tubuh sang putri. Yang tampak hanya seekor ular besar yang bergelung di atas batu yang biasa dipakai sang putri untuk duduk.
"Putriku!" seru sang raja kepada ular itu.
Ular itu hanya bisa menggerakan kepala dan menjulurkan lidahnya dengan tatapan mata yang sayu. Ia seakan hendak berbicara, namun tak satu kata pun yang terucap dari mulutnya.

"Putriku! Apa yang terjadi denganmu?" tanya permaisuri cemas.
Meskipun permaisuri sudah berteriak memanggilnya, namun ular itu tetap saja tidak bisa berkata apa-apa. Tak lama kemudian, ular besar penjelmaan sang putri pergi meninggalkan mereka dan masuk ke dalam semak belukar. Sang raja dan permaisuri beserta dayang-dayang tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka sangat sedih dan menangis atas nasib malang yang menimpa sang putri.

Peristiwa penjelmaan sang putri menjadi seekor ular adalah hukuman dari Yang Kuasa atas permintaannya sendiri, karena keputusasaannya. Ia putus asa karena telah membuat malu dan kecewa kedua orang tuanya. Ia tidak berhasil menjaga amanah ayahnya untuk selalu jaga diri agar tidak terjadi sesuatu yang dapat membatalkan pernikahannya dengan Raja Muda yang tampan itu. 

Si Dayang Bandir

Posted: 19 Apr 2011 10:59 PM PDT


Dahulu di propinsi Sumatera Utara terdapat dua kerajaan. Kerajaan itu dikenal dengan nama Kerajaan Timur dan Kerajaan Barat. Pada suatu ketika, raja yang berkuasa di Kerajaan Timur menikah dengan adik perempuan dari raja yang berkuasa di Kerajaan Barat. Beberapa tahun kemudian lahir seorang bayi perempuan yang diberi nama 'Si Dayang Bandir', tujuh tahun kemudian lahir seorang anak laki-laki yang bernama Sandean Raja. Ketika masih kecil, ayah Si Dayang Bandir dan Sandean Raja meninggal dunia.
Dengan meninggalnya raja di Kerajaan Timur, maka tahta Kerajaan Timur menjadi kosong. Berhubung Sandean Raja  masih kecil dan belum bisa menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja, maka dalam sidang istana kerajaan menunjuk Paman Kareang untuk mengendalikan pemerintahan kerajaan. Si Dayang Bandir mempunyai akal untuk menyelamatkan benda-benda pusaka agar jangan sampai jatuh ke tangan pamannya yang hanya menggantikan pemerintahan sementara. "Hmm.. benda-benda pusaka ini haurs kuselamatkan agar jangan sampai jatuh di tangan pamanku, kelak adik Sandean Raja lah yang berhak atas benda-benda pusaka ini," gumam Si Dayang Bandir.
Tidak berapa lama, Paman Kareang mengetahui benda-benda pusaka peninggalan raja telah disimpan Si Dayang Bandir. Ia mendesak Si Dayang Bandir agar menyerahkan benda-benda itu. "Awas! Kalau benda-benda itu tidak diserahkan padaku, keselamatanmu akan terancam!" Itulah ancaman Paman Kareang kepada Si Dayang Bandir. Namun Si Dayang Bandir tetap tidak mau menyerahkan benda-benda pusaka itu.
Kekesalan Paman Kareang menyebabkan Si Dayang Bandir dan  Sandean Raja dibuang ke hutan. Sesampainya di hutan, Paman Kareang mengikat Si Dayang Bandir di atas sebatang pohon sehingga tidak dapat dijangkau adiknya, Sandean Raja. Sandean Raja menangis tak henti-henti sampai kehabisan air mata. Sandean Raja mencoba membebaskan kakaknya. Tapi ia tidak berhasil memanjat pohon tersebut, setiap mencoba ia pun jatuh. Tubuhnya menjadi tergores dan luka-luka. "Biarlah kekejaman paman ini kutanggung sendiri," kata Si Dayang Bandir lemah. "Bila kau lapar, makanlah pucuk-pucuk daun yang berada di sekitarmu," ucap Si Dayang Bandir, kepada adiknya yang kelaparan.
Setelah beberapa hari terikat di batang pohon, akhirnya Si Dayang Bandir tampak mulai lemas dan akhirnya menghembuskan nafas terakhir. "Begitu kejam pamanku!" umpat Sandean Raja. Ia pun hidup seorang diri di hutan selama beberapa tahun hingga ia menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa. Selama di hutan, ia selalu ditemani roh Si Dayang Bandir. "Ku harap kau segera menghadap Raja Sorma," bisik halus Roh Si Dayang Bandir, kepada Sandean Raja. Raja Sorma adalah adik kandung dari Ibu Sandean Raja. Raja Sorma tidak kejam seperti Paman Kareang yang saat ini sudah menjadi raja di Kerajaan Timur.
Sandean Raja berhasil keluar dari  hutan dan segera menuju ke wilayah Kerajaan Barat untuk menghadap Raja Sorma. "Ampun Sri Baginda Raja Sorma. Hamba adalah Sandean Raja. Putra Mahkota Kerajaan Timur," kata Sandean Raja. Raja Sorma sangat terkejut dengan ucapan Sandean Raja karena ia mendengar bahwa Sandean Raja dan Si Dayang Bandir telah meninggal dunia. Untuk membuktikan bahwa Sandean Raja benar-benar keponakannya, Sandean Raja diuji memindahkan sebatang pohon hidup dari hutan ke Istana. Ujian selanjutnya, Sandean Raja diharuskan menebas sebidang hutan untuk dijadikan perladangan. Pekerjaan itu diselesaikan Sandean Raja dengan baik. Selanjutnya, Sandean Raja diperintahkan untuk membangun istana besar yang disebut "Rumah Bolon" dan ternyata berhasil dan selesai dalam waktu tiga hari.
Raja Sorma belum mau mengakui Sandean Raja sebagai keponakannya sebelum menempuh ujian terakhir. Yaitu, menunjuk  seorang puteri raja di antara puluhan gadis di sebuah ruang yang gelap gulita. Sandean Raja merasa khawatir kalau ujian yang terakhir ini ia tidak berhasil. "Jangan khawatir, aku akan membantumu," bisik roh Si Dayang Bandir. Akhirnya Sandean Raja berhasil memegang kepala puteri raja yang sedang bersimpuh. Atas keberhasilannya, Sandean Raja diakui sebagai keponakan Raja Sorma dan dinikahkan dengan puterinya. Setahun kemudian, Sandean Raja bersama prajurit Kerajaan Barat menyerang Kerajaan Timur yang dikuasai oleh paman Raja Kareang. Dalam waktu yang tidak lama, Kerajaan Timur berhasil ditaklukkan dan Raja Kareang terbunuh oleh Sandean Raja. Kerajaan Timur akhirnya di kuasai oleh Sandean Raja. Dan akhirnya Sandean Raja dinobatkan menjadi raja Kerajaan Timur dan hidup bahagia bersama istri dan rakyatnya.
Moral : 
Untuk membuktikan kebenaran diperlukan ujian yang keras. Hanya orang-orang yang bersemangat, sabar dan besar hatilah yang dapat melewati ujian seberat apapun.

Cerita Mandin Tangkaramin

Posted: 19 Apr 2011 10:56 PM PDT


Loksado adalah salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Hulu Sungai Selatan PropinsiKalimantan Selatan. Di sana ada sebuah desa bernama Malinau. Kira-kira satu kilometer dari tempat itu ada sebuah air terjun bernama Mandin Tangkaramin. Konon, menurut Bahasa penduduk di sana, mandin berarti air terjun. Jadi, Mandin Tangkaramin berarti air terjun Tangkaramin. Akan tetapi, kata mandin sudah menyatu dengan Tangkaramin sehingga kedua kata itu tak terpisahkan.

Air terjun itu. tidak terlalu tinggi, sekitar tiga belas meter. Hutan lebat mengelilinginya sehingga jika berada di hutan itu terasa selalu dalam dekapan gelap malam.
Di dasar air terjun Mandin Tangkaramin terdapat bongkahan-bongkahan batu besar dan kecil. Di antaranya ada bongkah besar berwarna merah, semerah kulit manggis yang ranum, bernama Manggu Masak.
Konon, air terjun itu punya kaitan dengan satu kejadian, yakni perkelahian satu lawan satu antara Bujang Alai dengan Bujang Kuratauan. Kedua pemuda itu memiliki kelebihan dan kekurangan. Akibatnya, mereka hidup dalam persaingan yang membuahkan dendam terpendam.
Bujang Alai adalah seorang pemuda tampan, angkuh, dan kaya. Ia selalu menyisipkan keris di pinggangnya setiap pergi ke mana saja. Jimat pun selilit pinggang. Karena merasa yakin akan kelebihannya, ia sering bertindak sesuka hati. Ia selalu mempertontonkan keberaniannya di mana saja, dengan harapan orang-orang tertarik kepadanya.
Berbeda sekali keadaannya dengan Bujang Kuratauan. Ia berpenampilan sederhana dan tidak setampan Bujang Alai. Ia seorang pemuda yang rendah hati dan penyabar. Selain itu, cara berpikir dan gagasannya menunjukkan kejernihan otaknya. Ia bukan dari kalangan orang kaya. Akan tetapi, ia punya sisi lain yang dapat diandalkan. Ia tidak berusaha menonjolkannya, tetapi muncul sendiri karena diharapkan masyarakat. Musyawarah di desa terasa belum lengkap tanpa kehadirannya. Sebuah keputusan dalam rapat tidak akan diambil tanpa ia turut menganggukkan kepala.
Jika Bujang Alai menyelipkan keris dan jimat selilit pinggang untuk menambah keangkuhannya, Bujang Kuratauan pun selalu membawa senjata setiap bepergian. Parang bungkul, senjata tradisional orang Banjar, selalu tersangkut di pinggangnya. Akan tetapi, senjata itu tidak akan keluar dari sarungnya jika bukan untuk menegakkan kehormatan, kebenaran, dan keadilan.
Pada suatu ketika, desa mereka gempar. Ada peristiwa yang dianggap melanggar adat dan mencemarkan nama keluarga, serta mencorengkan arang di muka anggota masyarakat. Seorang gadis hilang entah ke mana tanpa diketahui sebabnya.
Bukan hanya orang tua gadis itu yang panik dan amat terpukul, Bujang Kuratauan pun terusik perasaannya. Walaupun gadis itu bukan keluarganya atau perempuan yang akan dijodohkan kepadanya, peristiwa itu dirasakan sebagai tantangan terhadap dirinya. Ia diminta menunjukkan kemampuannya untuk menemukan gadis itu. Oleh karena itu, Bujang Kuratauan bertekad menyelidiki perkara ini sampai tuntas. Jauh di hati kecilnya muncul kecurigaan bahwa Bujang Alai menculik gadis itu.
"Sekali ini pasti ia akan kena batunya," ujar Bujang Kuratauan dalam hati.
Belum lagi usaha pengusutan mencapai titik terang, Bujang Alai tiba-tiba menepuk dada. Ia berkata dengan lantang, "Di rumah saya ada seorang gadis yang saya sembunyikan. Silakan jemput gadis itu, tetapi dengan syarat orang itu mampu menahan ujung kerisku Iebih dulu!"
Jelaslah bahwa Bujang Alai menantang Bujang Kuratauan. Dahi Bujang Kuratauan berkerut, daun telinga memerah, gigi gemeretuk, dan kilat mata tajam melukiskan amarah. Tangan kanannya merabahulu parang bungkulnya. Ia berkata dengan suara datar, "Aku tak akan menjemput gadis itu ke rumahmu, tetapi aku menuntut tanggung jawabmu sebagai lelaki!"
"Lelaki maksudmu? Keris ini membuktikan kelelakianku! Tentukan tempat dan waktunya!" ujar Bujang Alai sambil meraba keris di pinggang.
"Musuh tidak kucari, tetapi jika bersua pantang kuelakkan," sahut Bujang Kuratauan. Ia, berusaha meredam kemarahannya yang memuncak dengan suara tertelan, "Jika kerismu mau menjual darah, parang bungkul tumpul ini mampu membelinya!"
Sudah dapat diduga apa yang akan terjadi antara Bujang Kuratauan dan Bujang Alai. Perang tanding, itulah yang akan terjadi.
Keris Nagarunting milik Bujang Alai ditarik dari sarungnya, diacungkannya ke atas, dan diliuk-liukkannya ke udara dengan sombong. Bujang Kuratauan tidak ingin kalah aksi melihat atraksi yang dipamerkan Bujang Alai. Parang bungkulnya yang tajam berkilat berkelebat membelah udara, dipermainkannya dengan kecepatan tinggi.
Setelah mempertunjukkan kebolehan masing-masing, tanpa diduga Bujang Alai dengan tangkas melompat sambil berusaha menyarangkan keris Nagarunting ke dada Bujang Kuratauan. Akan tetapi, Bujang Kuratauan sudah slap sehingga serangan mendadak itu tidak mengejutkannya. Dengan gerakan enteng, ujung keris yang akan menembus jantung dapat dielakkannya. Bahkan jika mau, pasti is sempat menebaskan parang bungkulnya ke leher Bujang Alai. Akan tetapi, Bujang Kuratauan bukan orang haus darah. Kesempatan emas itu tidak dimanfaatkannya. Sikap itu ternyata membuat hati Bujang Alai semakin membara. Ia merasa dilecehkan.
"Gunakan senjatamu jika engkau merasa sebagai lelaki!" tantang Bujang Alai.
Bujang Kuratauan tidak menjawab. Ia hanya tersenyum, tetapi tangannya telah siap nlemegang huluparang bungkul. Matanya nanap penuh selidik menyiasati gelagat yang akan dilakukan Bujang Alai.
Nalurinya tidak salah. Bujang Alai menyerbu dengan membabi buta. Ia menyarangkan kerisnya bertubi-tubi ke tubuh Bujang Kuratauan sehingga Bujang Kuratauan susah mengelakkannya. Gemerincing keris beradu dengan parang bungkul menimbulkan kilatan api di angkasa. Mereka memiliki kehebatan dan kemampuan tempur yang tinggi. Akhirnya, Bujang Kuratauan tidak hanya menangkis dan mengelak, tetapi ia juga menyerang dan menebaskan parang bungkulnya.
Tebasannya berkali-kali mengenai bagian-bagian rawan tubuh Bujang Alai, tetapi tidak segores pun melukai kulitnya. Demikian halnya Bujang Kuratauan, berkali-kali ujung keris Bujang Alai tidak dapat dielakkannya, tetapi sama sekali tidak mencederainya.
"Kita lanjutkan di tempat lain!" ujar Bujang Alai.
"Di mana pun aku setuju!" sahut Bujang Kuratauan.
"Mandin Tangkaramin pilihanku!" ujar Bujang Alai.
"Di sana pun aku setuju!" sahut Bujang Kuratauan.
Perang tanding ditunda sementara. Mereka sepakat, Mandin Tangkaramin sebagai arena perkelahian berikutnya. Waktu luang menjelang saat pertarungan berikut itu mereka gunakan untuk mempersiapkan diri agar dapat mengalahkan lawan.
Setelah merenung dan menilai kehebatan Bujang Alai, Bujang Kuratauan berkata dalam hati, "Ia kebal. Parang bungkul yang bagaimanapun tajamnya tak akan melukai kulitnya."
Jika Bujang Alai berusaha mempertajam keris Nagarunting, Bujang Kuratauan justru membuat tumpul parang bungkulnya. Mata parangnya bukan dipertajam, melainkan diasah sehingga tumpul seperti bagian belakangnya.
Dalam pertarungan di Mandin Tangkaramin, memang tidak seorang pun terluka sebab keduanya kebal. Akan tetapi, parang bungkul Bujang Kuratauan yang tumpul matanya itu membuat tubuh Bujang Alai memar atau remuk di dalam. Akhirnya, Bujang Alai pun meninggal.
Tersiarlah berita tewasnya Bujang Alai di tangan Bujang Kuratauan. Kematian Bujang Alai itu membuat suasana menjadi panas. Keluarga Bujang Alai ingin menuntut balas sebab utang darah harus dibayar darah.
Pihak Bujang Kuratauan tidak tinggal diam. Mereka tidak menginginkan jatuhnya korban. Siasat pun diatur sebaik-baiknya. Obor-obor dinyalakan sehingga perhatian musuh terpancing dalam gelap gulita itu.
Pihak Bujang Alai mengejar obor-obor yang gemerlapan itu dengan kemarahan meluap. Pihak Bujang Kuratauan menghindarkan diri agar jangan terjadi bentrokan. Setelah sampai di puncak air terjunMandin Tangkaramin, obor-obor itu mereka lempar ke bawah.
Melihat nyala obor-obor itu pihak Bujang Alai menduga musuh menyimpang jalan sambil berlari menyusuri lintasan. Mereka hanya berpatokan pada nyala obor yang dilemparkan.
Kelompok Bujang Alai pun langsung memintas menuju obor. Jalan pintas yang mereka perkirakan memang tidak ada, kecuali jurang menganga sehingga mereka pun jatuh di atas bongkah batu. Darah mereka mengucur di batu-batu dan menjadikan batu-batu merah warnanya, semerah kulit manggis masak. Penduduk menyebutnya Batu Manggu Masak.

Dikutip dari : http://bom2000.com/

Situ Bagendit

Posted: 19 Apr 2011 10:46 PM PDT

Pada zaman dahulu kala disebelah utara kota garut ada sebuah desa yang penduduknya kebanyakan adalah petani. Karena tanah di desa itu sangat subur dan tidak pernah kekurangan air, maka sawah-sawah mereka selalu menghasilkan padi yang berlimpah ruah. Namun meski begitu, para penduduk di desa itu tetap miskin kekurangan.

Hari masih sedikit gelap dan embun masih bergayut di dedaunan, namun para penduduk sudah bergegas menuju sawah mereka. Hari ini adalah hari panen. Mereka akan menuai padi yang sudah menguning dan menjualnya kepada seorang tengkulak bernama Nyai Endit.

Nyai Endit adalah orang terkaya di desa itu. Rumahnya mewah, lumbung padinya sangat luas karena harus cukup menampung padi yang dibelinya dari seluruh petani di desa itu. Ya! Seluruh petani. Dan bukan dengan sukarela para petani itu menjual hasil panennya kepada Nyai Endit.Mereka terpaksa menjual semua hasil panennya dengan harga murah kalau tidak ingin cari perkara dengan centeng-centeng suruhan nyai Endit. Lalu jika pasokan padi mereka habis, mereka harus membeli dari nyai Endit dengan harga yang melambung tinggi.

"Wah kapan ya nasib kita berubah?" ujar seorang petani kepada temannya. "Tidak tahan saya hidup seperti ini. Kenapa yah, Tuhan tidak menghukum si lintah darat itu?"

"Sssst, jangan kenceng-kenceng atuh, nanti ada yang denger!" sahut temannya. "Kita mah harus sabar! Nanti juga akan datang pembalasan yang setimpal bagi orang yang suka berbuat aniaya pada orang lain. Kan Tuhan mah tidak pernah tidur!"

Sementara iru Nyai Endit sedang memeriksa lumbung padinya.

"Barja!" kata nyai Endit. "Bagaimana? Apakah semua padi sudah dibeli?" kata nyai Endit.

"Beres Nyi!" jawab centeng bernama Barja. "Boleh diperiksa lumbungnya Nyi! Lumbungnya sudah penuh diisi padi, bahkan beberapa masih kita simpan di luar karena sudah tak muat lagi."

"Ha ha ha ha…! Sebentar lagi mereka akan kehabisan beras dan akan membeli padiku. Aku akan semakin kaya!!! Bagus! Awasi terus para petani itu, jangan sampai mereka menjual hasil panennya ke tempat lain. Beri pelajaran bagi siapa saja yang membangkang!" kata Nyai Endit.

Benar saja, beberapa minggu kemudian para penduduk desa mulai kehabisan bahan makanan bahkan banyak yang sudah mulai menderita kelaparan. Sementara Nyai Endit selalu berpesta pora dengan makanan-makanan mewah di rumahnya.

"Aduh pak, persediaan beras kita sudah menipis. Sebentar lagi kita terpaksa harus membeli beras ke Nyai Endit. Kata tetangga sebelah harganya sekarang lima kali lipat disbanding saat kita jual dulu. Bagaimana nih pak? Padahal kita juga perlu membeli keperluan yang lain. Ya Tuhan, berilah kami keringanan atas beban yang kami pikul."

Begitulah gerutuan para penduduk desa atas kesewenang-wenangan Nyai Endit.

Suatu siang yang panas, dari ujung desa nampak seorang nenek yang berjalan terbungkuk-bungkuk. Dia melewati pemukiman penduduk dengan tatapan penuh iba.

"Hmm, kasihan para penduduk ini. Mereka menderita hanya karena kelakuan seorang saja. Sepertinya hal ini harus segera diakhiri," pikir si nenek.

Dia berjalan mendekati seorang penduduk yang sedang menumbuk padi.

"Nyi! Saya numpang tanya," kata si nenek.

"Ya nek ada apa ya?" jawab Nyi Asih yang sedang menumbuk padi tersebut

"Dimanakah saya bisa menemukan orang yang paling kaya di desa ini?" tanya si nenek

"Oh, maksud nenek rumah Nyi Endit?" kata Nyi Asih. "Sudah dekat nek. Nenek tinggal lurus saja sampai ketemu pertigaan. Lalu nenek belok kiri. Nanti nenek akan lihat rumah yang sangat besar. Itulah rumahnya. Memang nenek ada perlu apa sama Nyi Endit?"

"Saya mau minta sedekah," kata si nenek.

"Ah percuma saja nenek minta sama dia, ga bakalan dikasih. Kalau nenek lapar, nenek bisa makan di rumah saya, tapi seadanya," kata Nyi Asih.

"Tidak perlu," jawab si nenek. "Aku Cuma mau tahu reaksinya kalau ada pengemis yang minta sedekah. O ya, tolong kamu beritahu penduduk yang lain untuk siap-siap mengungsi. Karena sebentar lagi akan ada banjir besar."

"Nenek bercanda ya?" kata Nyi Asih kaget. "Mana mungkin ada banjir di musim kemarau."

"Aku tidak bercanda," kata si nenek."Aku adalah orang yang akan memberi pelajaran pada Nyi Endit. Maka dari itu segera mengungsilah, bawalah barang berharga milik kalian," kata si nenek.

Setelah itu si nenek pergi meniggalkan Nyi Asih yang masih bengong.

Sementara itu Nyai Endit sedang menikmati hidangan yang berlimpah, demikian pula para centengnya. Si pengemis tiba di depan rumah Nyai Endit dan langsung dihadang oleh para centeng.

"Hei pengemis tua! Cepat pergi dari sini! Jangan sampai teras rumah ini kotor terinjak kakimu!" bentak centeng.

"Saya mau minta sedekah. Mungkin ada sisa makanan yang bisa saya makan. Sudah tiga hari saya tidak makan," kata si nenek.

"Apa peduliku," bentak centeng. "Emangnya aku bapakmu? Kalau mau makan ya beli jangan minta! Sana, cepat pergi sebelum saya seret!"

Tapi si nenek tidak bergeming di tempatnya. "Nyai Endit keluarlah! Aku mau minta sedekah. Nyai Endiiiit…!" teriak si nenek.

Centeng-centeng itu berusaha menyeret si nenek yang terus berteriak-teriak, tapi tidak berhasil.

"Siapa sih yang berteriak-teriak di luar," ujar Nyai Endit. "Ganggu orang makan saja!"

"Hei…! Siapa kamu nenek tua? Kenapa berteriak-teriak di depan rumah orang?" bentak Nyai Endit.

"Saya Cuma mau minta sedikit makanan karena sudah tiga hari saya tidak makan," kata nenek.

"Lah..ga makan kok minta sama aku? Tidak ada! Cepat pergi dari sini! Nanti banyak lalat nyium baumu," kata Nyai Endit.

Si nenek bukannya pergi tapi malah menancapkan tongkatnya ke tanah lalu memandang Nyai Endit dengan penuh kemarahan.

"Hei Endit..! Selama ini Tuhan memberimu rijki berlimpah tapi kau tidak bersyukur. Kau kikir! Sementara penduduk desa kelaparan kau malah menghambur-hamburkan makanan" teriak si nenek berapi-api. "Aku datang kesini sebagai jawaban atas doa para penduduk yang sengsara karena ulahmu! Kini bersiaplah menerima hukumanmu."

"Ha ha ha … Kau mau menghukumku? Tidak salah nih? Kamu tidak lihat centeng-centengku banyak! Sekali pukul saja, kau pasti mati," kata Nyai Endit.

"Tidak perlu repot-repot mengusirku," kata nenek. "Aku akan pergi dari sini jika kau bisa mencabut tongkatku dari tanah."

"Dasar nenek gila. Apa susahnya nyabut tongkat. Tanpa tenaga pun aku bisa!" kata Nyai Endit sombong.

Lalu hup! Nyai Endit mencoba mencabut tongkat itu dengan satu tangan. Ternyata tongkat itu tidak bergeming. Dia coba dengan dua tangan. Hup hup! Masih tidak bergeming juga.

"Sialan!" kata Nyai Endit. "Centeng! Cabut tongkat itu! Awas kalau sampai tidak tercabut. Gaji kalian aku potong!"

Centeng-centeng itu mencoba mencabut tongkat si nenek, namun meski sudah ditarik oleh tiga orang, tongkat itu tetap tak bergeming.

"Ha ha ha… kalian tidak berhasil?" kata si nenek. "Ternyata tenaga kalian tidak seberapa. Lihat aku akan mencabut tongkat ini."

Brut! Dengan sekali hentakan, tongkat itu sudah terangkat dari tanah. Byuuuuurrr!!!! Tiba-tiba dari bekas tancapan tongkat si nenek menyembur air yang sangat deras.

"Endit! Inilah hukuman buatmu! Air ini adalah air mata para penduduk yang sengsara karenamu. Kau dan seluruh hartamu akan tenggelam oleh air ini!"

Setelah berkata demikian si nenek tiba-tiba menghilang entah kemana. Tinggal Nyai Endit yang panik melihat air yang meluap dengan deras. Dia berusaha berlari menyelamatkan hartanya, namun air bah lebih cepat menenggelamkannya beserta hartanya.

Di desa itu kini terbentuk sebuah danau kecil yang indah. Orang menamakannya 'Situ Bagendit'. Situ artinya danau dan Bagendit berasal dari kata Endit. Beberapa orang percaya bahwa kadang-kadang kita bisa melihat lintah sebesar kasur di dasar danau. Katanya itu adalah penjelmaan Nyai Endit yang tidak berhasil kabur dari jebakan air bah.

Kisah Telaga Warna

Posted: 19 Apr 2011 10:41 PM PDT




Zaman dahulu, ada sebuah kerajaan di Jawa Barat. Negeri itu dipimpin oleh seorang raja. Prabu, begitulah orang memanggilnya. Ia adalah raja yang baik dan bijaksana. Tak heran, kalau negeri itu makmur dan tenteram. Tak ada penduduk yang lapar di negeri itu.

Semua sangat menyenangkan. Sayangnya, Prabu dan istrinya belum memiliki anak. Itu membuat pasangan kerajaan itu sangat sedih. Penasehat Prabu menyarankan, agar mereka mengangkat anak. Namun Prabu dan Ratu tidak setuju. "Buat kami, anak kandung adalah lebih baik dari pada anak angkat," sahut mereka.

Ratu sering murung dan menangis. Prabu pun ikut sedih melihat istrinya.. Lalu Prabu pergi ke hutan untuk bertapa. Di sana sang Prabu terus berdoa, agar dikaruniai anak. Beberapa bulan kemudian, keinginan mereka terkabul. Ratu pun mulai hamil. Seluruh rakyat di kerajaan itu senang sekali. Mereka membanjiri istana dengan hadiah.

Sembilan bulan kemudian, Ratu melahirkan seorang putri. Penduduk negeri pun kembali mengirimi putri kecil itu aneka hadiah. Bayi itu tumbuh menjadi anak yang lucu. Belasan tahun kemudian, ia sudah menjadi remaja yang cantik.

Prabu dan Ratu sangat menyayangi putrinya. Mereka memberi putrinya apa pun yang dia inginkan. Namun itu membuatnya menjadi gadis yang manja. Kalau keinginannya tidak terpenuhi, gadis itu akan marah. Ia bahkan sering berkata kasar. Walaupun begitu, orangtua dan rakyat di kerajaan itu mencintainya.

Hari berlalu, Putri pun tumbuh menjadi gadis tercantik di seluruh negeri. Dalam beberapa hari, Putri akan berusia 17 tahun. Maka para penduduk di negeri itu pergi ke istana. Mereka membawa aneka hadiah yang sangat indah. Prabu mengumpulkan hadiah-hadiah yang sangat banyak itu, lalu menyimpannya dalam ruangan istana. Sewaktu-waktu, ia bisa menggunakannya untuk kepentingan rakyat.

Prabu hanya mengambil sedikit emas dan permata. Ia membawanya ke ahli perhiasan. "Tolong, buatkan kalung yang sangat indah untuk putriku," kata Prabu. "Dengan senang hati, Yang Mulia," sahut ahli perhiasan. Ia lalu bekerja d sebaik mungkin, dengan sepenuh hati. Ia ingin menciptakan kalung yang paling indah di dunia, karena ia sangat menyayangi Putri.

Hari ulang tahun pun tiba. Penduduk negeri berkumpul di alun-alun istana. Ketika Prabu dan Ratu datang, orang menyambutnya dengan gembira. Sambutan hangat makin terdengar, ketika Putri yang cantik jelita muncul di hadapan semua orang. Semua orang mengagumi kecantikannya.

Prabu lalu bangkit dari kursinya. Kalung yang indah sudah dipegangnya. "Putriku tercinta, hari ini aku berikan kalung ini untukmu. Kalung ini pemberian orang-orang dari penjuru negeri. Mereka sangat mencintaimu. Mereka mempersembahkan hadiah ini, karena mereka gembira melihatmu tumbuh jadi dewasa. Pakailah kalung ini, Nak," kata Prabu.

Putri menerima kalung itu. Lalu ia melihat kalung itu sekilas. "Aku tak mau memakainya. Kalung ini jelek!" seru Putri. Kemudian ia melempar kalung itu. Kalung yang indah pun rusak. Emas dan permatanya tersebar di lantai.

Itu sungguh mengejutkan. Tak seorang pun menyangka, Putri akan berbuat seperti itu. Tak seorang pun bicara. Suasana hening. Tiba-tiba terdengar tangisan Ratu. Tangisannya diikuti oleh semua orang.

Tiba-tiba muncul mata air dari halaman istana. Mula-mula membentuk kolam kecil. Lalu istana mulai banjir. Istana pun dipenuhi air bagai danau. Lalu danau itu makin besar dan menenggelamkan istana.

Di hari yang cerah, kita bisa melihat danau itu penuh warna yang indah dan mengagumkan. Warna itu berasal dari bayangan hutan, tanaman, bunga-bunga, dan langit di sekitar telaga. Namun orang mengatakan, warna-warna itu berasal dari kalung Putri yang tersebar di dasar telaga.

Dikisahkan kembali oleh: edi apridiana

Sumber: www.geocities.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar