Save Arema - Konsep Aremania untuk Profesionalisme Arema(
Krisis memang kerap menyakitkan namun kerapkali di dalam krisis terdapat secuil berita "menyejukkan" namun dilupakan. Di Arema, mungkin hanya tim yang berjuluk Singo Edan ini "kebal" dengan kata krisis. Sejak awal pendirian hingga telah berusia lebih dari 23 tahun sekarang ini sudah tidak terhitung berapa kali kata krisis itu didengungkan kepada Arema.
Hebatnya Arema, ketika terdengar kata krisis maka dalam waktu tidak lama akan terdapat berita baru yang mengandung kelegaan dan win-win solution bagi stakeholdernya. Tapi di beberapa klub lain terdengar kata krisis bisa mengakibatkan kepanikan bagi pecinta klub tersebut. Secara tidak langsung kita harus bersyukur upaya penyelesaian krisis di Arema tidak berkubang pada retorika namun juga upaya.
Di Arema sejak era kepemimpinan Sam Ikul tim Arema tidak luput dari prahara. Tentu Anda masih mengingat di era ini hak yang diterima pemain sangat minim. Pernah Panus Korwa memanggul beras dan pulang ke rumah sebagai ganti bayaran uang tunai yang belum dibayar. Bahkan penyedia layanan katering bagi mess pemain sering merasakan dampaknya dengan keterlambatan pembayaran. Antar jemput latihan tim memakai bis "omprengan", mess "seadanya" dan tanyakan kepada Aji Santoso ataupun Ahmad Junaidi berapa perbandingan gaji yang ia terima ketika memperkuat Arema dibandingkan klub lain?
Arema sempat menikmati rehat sejenak dari kata krisis ketika diakuisisi oleh Bentoel namun tidak bebas sepenuhnya. Ketika Liga Indonesia berganti sponsor menjadi Djarum "krisis" Arema dimulai. Bedanya ketika itu krisis bukan lagi dalam pendanaan klub tetapi krisis kepercayaan kepada PSSI akibat konflik kepentingan di dalamnya.
Krisis antara Arema dengan PSSI terus berlanjut beberapa musim setelah itu. Puncaknya ketika musim kompetisi 2007/2008 dimana salah satu gol Emile Mbamba dianulir secara kontroversial oleh wasit Jajat Sudrajat pada babak 8 besar. Berlanjut setelah itu di musim berikutnya ketika beberapa kali Arema dikerjai wasit dan salah satunya berujung skorsing pada Emile Mbamba(5 tahun), Kurnia Meiga H.(6 bulan) dan Ekoyono Hartono(1 tahun).
Selepas musim ISL yang pertama menjadi akhir perpisahan era antara Arema dengan Bentoel. Dana 10-15 Miliar rupiah yang dikucurkan Bentoel kepada Arema "mandeg" di musim berikutnya. Sebagai gantinya Bentoel mengucurkan "uang tali asih" sebesar 7,5M dan dikucurkan secara bertahap(tahap pertama 2,5Miliar dan setelah itu masing-masing 1Miliar rupiah yang dikucurkan hingga bulan ke-5). Selepas Arema menjadi Juara ISL sudah tidak terdapat lagi dana dari Bentoel yang digunakan untuk modal klub.
Mulai saat itu Arema harus pontang-panting menghidupi tim. Persoalan utama klub Arema adalah penyertaan modal tim yang kurang mencukupi. Akibatnya Arema lewat PT Arema Indonesia kurang bisa berakselerasi untuk memainkan investasi. Padahal hasil dari investasi inilah yang bisa diwujudkan untuk menghidupkan Arema.
Investasi yang dilakukan klub bisa bermacam bentuknya. Ada yang bergerak di bidang olahraga/sepakbola dengan mendirikan fasilitas latihan, mess pemain atau ekspansi Aremastore. Arema juga bisa berinvestasi pada mode portofolio lain misalnya ORI(Obligasi Retail dari pemerintah) atau Investasi lain yang digemari sekarang ini seperti jual beli emas dan properti.
***
Di Indonesia Arema adalah prototype klub sepakbola yang mandiri dan profesional. Namun sejauh ini Arema baru mencapai tahap mandiri dan masih proses ke tahap profesional sepenuhnya.
Untuk menuju ke tahap profesionalisme Arema masih dibenturkan dengan beberapa issue subtantif berkaitan dengan kemajuan Arema. Krisis dana yang dialami Arema adalah impact dari prosesi untuk menjadi klub yang profesional namun belum juga selesai. Jika dihitung sejak awal berdirinya Arema yang selalu mandiri dan murni dari sokongan APBD mestinya proses pembelajaran itu tidak berlangsung selama ini. Ibaratnya Arema telah memperoleh dukungan ilmu mumpuni, namun kenapa masih belum jua dinyatakan "lulus"?
Dibandingkan klub lain di kawasan regional Muangthong United misalnya Arema semestinya lebih beruntung. Arema berada di negara yang memiliki faktor demografi terbesar di ASEAN dan dukungan budaya yang menjadikan Arema sebagai subkultur yang membawa kebanggaan orang Malang.
Dengan menjadikan Arema sebagai subkultur membawa keuntungan strategis bagi tim. Budaya ini menular dengan adanya kesadaran penonton untuk membeli tiket, branding Arema meluas dan membuatnya terkenal ke seluruh Indonesia. Efeknya Arema mendapatkan keuntungan berlimpah dari deal sponsorship dengan beberapa instansi. Selain itu Arema mendapat tambahan pemasukan lain dari jualan hangtag merchandise.
Jumlah penggemar Arema memang lebih besar daripada Muangthong United. Tahun lalu jumlah penonton Arema adalah yang terbesar di kawasan ASEAN dan lebih dari dua kali lipat dibandingkan The Twin Qilins, julukan Muangthong United. Namun dalam hal pengelolaan klub secara profesional Muangthong United unggul selangkah dibandingkan Arema.
Jelasnya memang ada yang salah dengan pengelolaan Arema. Nyaris tidak akan habis kalimat jika harus dijabarkan secara detail meski muara dari semua masalah Arema yang sangat dominan adalah mesin organisasi yang tidak jalan secara semestinya. Terlepas latar belakang personalisasi dari stakeholder di Arema tersebut
Grade penilaian AFC sendiri untuk Thai Premier League masih dibawah ISL. Bahkan K-League yang mengakomodir kepentingan klub sepakbola di Korea Selatan memiliki jumlah penggemar yang lebih sedikit dibanding ISL, dan kita tidak menyangsikan kualitas K-League hampir menyamai J-League yang menduduki nomor wahid penilaian AFC beberapa tahun belakangan ini. Sayangnya hal tersebut tidak menolong Arema didalam kesulitannya.
***
Pasca pelimpahan wewenang kepemilikan dari Bentoel ke tangan konsorsium tidaklah berjalan semulus yang diharapkan. Pergantian pengurus terjadi beberapa kali dan membuat publik seakan bertanya-tanya tentang kinerja masing-masing personel hingga komunikasi diantara anggota konsorsium Arema. Benarkah Arema masih dikelola oleh konsorsium dan bagaimana peran dan tanggung jawab masing-masing anggotanya di dalam mengelola Arema?
Dalam pikiran saya mengembangkan klub Arema hingga ke tahap profesional bukanlah suatu yang mustahil. Arema juga dapat mencapainya tanpa bantuan/campur tangan dari otoritas pengelola kompetisi baik berupa kebijakan strategis baik dalam bentuk aturan/undang-undang ataupun aksi potensial yang berimplikasi langsung pada sistem keekonomian klub(subdisi dan share sponsorship kompetisi, dsb).
Shamrock Rovers adalah contoh nyata dari usaha supporter didalam mewujudkan sebuah klub profesional. Mereka adalah klub tersukses di Irlandia dengan rekor pemegang juara kompetisi terbanyak dan sempat mengalami pergantian pemilik klub sebanyak 5 kali dalam satu periode. 20 tahun perjalanan klub ini dilalui secara nomaden dan baru bisa membangun stadion dalam waktu 10 tahun(lebih lama daripada stadion megah sekelas New Wembley) meski dengan kapasitas yang lebih kecil daripada Stadion Kanjuruhan.
Sampai pada tahun 2005 "400 Club" yang beranggotakan 400 suporter Rovers(sebutan untuk Shamrock Rovers) 'urunan' untuk membeli klub mereka dan menyalamatkannya dari pola miss-management yang telah berlangsung di musim sebelumnya. Setiap tahun mereka secara sukarela mengumpulkan dana sumbangan kepada klub dan kini dengan jumlah anggota yang mencapai 500 orang mereka dapat mengumpulkan 300ribu euro untuk digunakan mengembangkan Rovers. Para suporter tidak hanya sukarela untuk memberikan iuran tahunan tapi juga membeli tiket ketika Rovers bertanding di kandangnya, Tallaght Stadium.
Shamrock Rovers adalah klub yang berlokasi di Tallaght dengan jumlah penduduk 100ribu jiwa. Apa yang didapat oleh Shamrock Rovers dapat menginspirasi kita bahwa mereka dapat mencapainya dengan mengandalkan "satujiwa" para suporter dengan klub. Dengan kepercayaan yang dimiliki mereka mampu menjalankan bisnis klub secara konsisten, dengan berlandaskan pada integritas dan efektifitas.
***
Efektifitas menurut Schemerhon John R. Jr. (1986:35) adalah "pencapaian target output yang diukur dengan cara membandingkan output anggaran atau seharusnya (OA) dengan output realisasi atau sesungguhnya (OS), jika (OA) > (OS) disebut efektif ". Dengan mempertimbangkan keuangan Arema mengalami defisit 2 musim terakhir bisa dibilang pengelolaan Arema berjalan kurang efektif dan cukup membuat Aremania mengerutkan dahi.
Untuk meminimalisir keraguan Aremania salah satunya adalah dengan jalan memberikan ruang kepada Aremania untuk "memiliki" klub lebih dalam terutama hak suara didalam pengambilan keputusan klub. Kehadiran Aremania sebagai pemegang hak suara juga menjamin kredibilitas dan independensi Arema di dalam pengembangan sepakbola nasional.
Dewasa ini banyak orang mengatasnamakan Arema/Aremania. Ada yang melakukannya secara benar demi kepentingan Arema/Aremania, tetapi ada pula yang melakukannya demi kepentingan pribadi atau kelompok. Yang terakhir ini tentulah merupakan tindakan yang tidak terpuji. Namun yang lebih berbahaya dan itu adalah bahwa banyak di antara mereka, baik yang menuding ataupun yang dituding dalam mengatasnamakan Arema/Aremania, adalah bahwa mereka kurang sepenuhnya memahami arti dan makna Arema dan Aremania serta dimensi yang melingkupinya
Pada akhirnya jikalau akomodasi diatas dipenuhi masih ada beberapa pekerjaan rumah yang harus diperhatikan didalam memenuhi impian Arema sebagai klub profesional diantaranya :
1. Perumusan indikator-indikator kinerja yang lebih konkrit, baik dalam jajaran Yayasan maupun manajemen PT Arema Indonesia. Misalnya merancang dan mengesahkan anggaran keuangan tahunan, dan target klub untuk jangka pendek maupun strategis.
2. Meminimalisasi pemborosan anggaran belanja barang dan jasa yang membebani anggaran klub. Segala bentuk pemborosan ini harus dikendalikan atau dihentikan dan jika tidak hyper-inflation dapat terjadi dan klub hampir tidak mampu untuk menyediakan anggaran dan membangun Arema itu sendiri.
3. Integrity system dan pencegahan korupsi masuk pada tingkat yang lebih dalam, yang pada gilirannya membawa pedang bermata dua: membersihkan conflict of interest dan menghindarikan diri dari pola manajemen yang buruk dan membawa Arema kedalam kerugian eksponensial.
4. Platforms yang harus diwujudkan untuk mendukung konsep profesionalisme Arema:
- Mewujudkan Arema sebagai klub yang berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, berkepribadian dalam budaya.
- Kepentingan sepakbola nasional adalah yang utama tanpa mengabaikan tanggung jawab untuk melestarikan Arema itu sendiri.
- Yang dibangun adalah Arema FC, Aremania dan sepakbola Nasional. Pengembangan klub yang berdasarkan atas usaha Arema dan Aremania memberi makna substantif terhadap platform yang hendak diwujudkan ini.
- Hubungan pengembangan klub Arema berdasar "Satu Jiwa"
- Segala potensi yang terkandung di dalam Arema digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran Arema, dari generasi ke generasi.
- Proaktif untuk mendesain pengembangan Arema dengan berposisi sebagai subyek bukan obyek didalam pengembangan tersebut.
- Yang dituju adalah Profesionalisme Arema bukan Profesionalisme di Arema.
- Hutang dari pihak ketiga bersifat pelengkap dan sementara. Investasi asing berdasar pada asas mutual benefit bukan predominasi (tidak overheersen).
Platforms di atas disusun dan dikembangkan dari pemikiran-pemikiran Prof Sri Edi Swasono dari jurnal ekonomi berjudul Kemandirian, Dasar Martabat Bangsa. Tentu platforms tersebut perlu untuk ditambah lagi sesuai dengan perkembangan yang ada. Masalah selanjutnya adalah bagaimana platforms tersebut disosialisasikan agar dapat diterima sebagai paradigma perubahan di dalam Arema untuk kepentingan bersama sebagai entitas klub profesional yang siap dalam menghadapi tantangan global.
Seperti adagium Bung Hatta marilah kita menjadi Tuan di negeri sendiri, hal ini juga berlaku di Arema. Aremania bukanlah sekedar konsumen ataupun penumpang di dalam sebuah mobil jika terdapat analogi yang menyebutkan Arema ibarat sebuah mobil sedangkan STNK dan BPKB adalah "pengikat" yang menyertainya.
Arema bukan lagi sekedar klub sepakbola. "Arema are more than just a football club. They are a way of life. They are the St Pauli of Indonesia. A culture with in a culture. Satu Jiwa, one heart or one soul" tegas Anthony Sutton kolumnis ESPN yang bermukim di Indonesia dan mengelola blog Jakarta Casual.
Salam Satu Jiwa!
-bersambung-
sumber :
http://ping.fm/cXkSM